Biografi Sultan Agung dan Perjuangannya Menghadapi Keserakahan Belanda
Juni 07, 2019
Sultan Agung |
Koesrow - Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan raja ketiga Kerajaan Mataram Islam. Disebut Mataram Islam untuk membedakan dengan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Ia adalah cucu dari Penembahan Senapati (Sutawijaya) dan putra Panembahan Seda Krapyak.
Panembahan Senapati yang dilahirkan pada tahun 1591 merupakan pendiri Dinasti Mataram. Sultan Agung merupakan raja yang menyadari pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya ditaklukkannya supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Kerajaan Mataram.
Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda yang semula berupa Kongsi Dagang Hindia Timur Jauh (VOC = Vereenigde Oast Indische Compagnie).
Kekuasaan Mataram pada masa itu meliputi hampir seluruh Jawa dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur. Selain VOC masih ada Kerajaan Banten yang tidak tunduk kepada Mataram.
Perjuangan Sultan Agung
Sultan Agung menyadari bahwa kehadiran Kompeni Belanda di Batavia dapat membahayakan kesatuan negara yang dalam hal ini terutama meliputi Pulau Jawa.
Di samping VOC, masih ada kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa yang tidak berada di bawah kekuasaan Mataram. Langkah pertama untuk menyatukan seluruh Jawa adalah mengadakan sejumlah penaklukan di daerah Jawa Timur. Oleh karena itu, Lasem ditundukkan (tahun 1616), disusul Pasuruan (1617), Tuban (1619), Madura (1624), dan Surabaya (1625). Dengan penguasaan kerajaan-kerajaan pesisir Jawa Timur untuk sementara dapat dicegah intervensi kekuasaan asing.
Untuk menjaga agar para raja pesisir tidak memberontak dilakukan politik, domestifikasi. Contoh yang dapat dikemukakan adalah ketika Madura dapat ditaklukkan, Pangeran Prasena yang dikhawatirkan akan memperkuat diri, oleh Sultan Agung diharuskan tinggal di Kraton Mataram. Di kraton, Prasena mendapat perlakuan baik dan dikawinkan dengan putri kraton yang bernama Ratu Ibu. Baru setelah menunjukkan kesetiaan kepada raja, Prasena diperbolehkan memerintah Madura dan diberi gelar Pangeran Cakraningrat (I).
Lewat strategi itu terbina hubungan yang baik dengan berbagai daerah yang telah ditundukkan. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan itu tidak merasa menjadi "wilayah bawahan" Mataram, tetapi merasa menjadi mitra yang diperhitungkan bahkan terbina hubungan kekeluargaan yang baik. Lewat usaha itu sebagian besar wilayah di Pulau Jawa dapat dibina dan disatukan.
Untuk menghancurkan kedua musuhnya di Jawa Barat, Sultan Agung pernah menawarkan kerjasama dengan VOC untuk menghancurkan Banten. Setelah Banten Hancur, barulah VOC mendapat gilirannya. Tawaran kerjasama itu ditolak oleh Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jendral VOC pada masa itu. Gubernur Jendral itu rupanya mengetahui bila sesudah Kerajaan Banten dapat dihancurkan maka kongsi dagang itu akan menjadi sasaran berikutnya. VOC tetap memelihara pertentangan antara dua kerajaan itu dan memainkan pengaruhnya di setiap pergantian raja. Raja yang pro VOC akan didukungnya dengan membayar imbalan berupa penyerahan sebagian tanah kerajaan kepadanya.
Tak Pernah Kompromi dengan Belanda
Serangan pertama dilakukan lewat laut dengan mengirim 50 kapal pada tahun 1628. Pasukan Mataram menyerang benteng Belanda dengan persenjataan tombak dan pedang. Untuk membendung serangan hebat itu, VOC mengerahkan 2.866 serdadu. Dalam pertempuran yang berlangsung siang dan malam itu, Belanda dengan meriam-meriamnya berhasil menghalau pasukan Mataram. Setahun berikutnya, serangan kedua dilancarkan lewat darat. Dalam penyerbuan ini, pasukan Mataram mendapat perbekalan lebih baik. Pasukan-pasukan berkuda dilengkapi dengan gajah-gajah yang mengangkut meriam dan gudang-gudang makanan didirikan di Tegal dan Cirebon.
Pasukan Mataram berhasil merebut Benteng Hollandia tetapi pasukan Sultan Agung tidak berhasil mempertahankan benteng itu karena bahaya kelaparan yang melanda.
Gudang-gudang perbekalan Mataram diketahui oleh mata-mata musuh yang rela menjual" negerinya untuk kekuasaan asing. Setelah itu gudang perbekalan itu dibakar habis sehingga sangat menggagalkan rencana yang disusun rapi.
Sejak kegagalan itu Sultan Agung tidak lagi mengadakan inisiatif penyerbuan ke Batavia. Namun, raja itu tetap tidak mau berdamai dengan Belanda. Ia menutup kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai Utara Jawa Pelabuhan Jepara menjadi satu-satunya bandar yang terbuka bagi dunia dalam perdagangan beras. Penutupan kota-kota pelabuhan, seperti Surabaya, Tuban, Gresik menjadikan kerajaan Mataram meninggalkan sifat "agromaritim" (hidup dari hasil pertanian dan perdagangan lewat laut) Kerajaan itu menjadi kerajaan pedalaman yang hidup dari pertanian. Mataram menjadi terpencil karena tidak ada relasi dengan kekuatan lain, selain dengan Belanda.
Sampai wafatnya pada tahun 1645, Sultan Agung tetap tidak mau berdamai dengan VOC meskipun ada tawaran untuk itu. Penggantinya Sunan Mangkurat I sepeninggal ayahnya segera mengadakan perdamaian dengan Kompeni yang menjadikannya bulan-bulanan politik divide et impera ('adu domba"= membagi dan menguasai) Belanda.
Perlawanan Sultan Agung terhadap Kompeni Belanda memiliki makna simbolis karena menjadi lambang perjuangan suatu bangsa untuk menegakkan kesatuan wilayah dengan mengusir penjajah bangsa asing. Lewat tokoh Mataram itu, terasakan hasrat bangsa Indonesia yang mendambakan kesatuan, baik wilayah maupun pemerintahannya. Sesungguhnya semangat yang sama pernah dicetuskan oleh Prabu Kartanegara dari Kerajaan Singasari dan Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit.
Rupanya, semangat kebangsaan (nasionalisme) belum tumbuh di kalangan rakyat tetapi hanya terbatas di kalangan raja dan para bangsawan. Rakyat dengan mudah menjadi sasaran tipu muslihat Belanda. Langkah Sultan Agung itu menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia di kemudian hari. Bahwa persatuan dan kesatuan memang mutlak dilakukan guna menghancurkan penjajah asing.